Nuri Che Shiddiq : Sejarawan dan Tokoh Budaya Melayu Indonesia
samuderakepri.co.id, Kepri – Dalam semangat solidaritas di kalangan Melayu, saya sangat simpati dengan komunitas asli Rempang. Pak Rudi, sebagai kepala BP Batam, seharusnya tidak hanya menyatakan kelanjutan perjanjian sejak 2004. Sebagai pemimpin, beliau seharusnya bertindak dengan kebijakan yang sesuai dengan posisinya. Meskipun investasi baik, apakah analisis dampak lingkungan yang mendalam telah dilakukan untuk pengembangan ini? Analisis seharusnya tidak hanya mempertimbangkan dampak lingkungan terhadap hutan dan laut, tetapi juga terhadap masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Apakah dampaknya telah dipelajari dengan seksama?
Marilah kita tidak menjadi individu yang seolah-olah tidak mengerti prinsip-prinsip mendasar. Di tanah Melayu ini, mari kita menggunakan kekuatan secara tepat. Kita tahu bahwa hidup harus memiliki makna. Keberadaan kita tidak boleh hanya berkontribusi pada entitas yang merusak sejarah, budaya, dan mata pencaharian banyak orang. Sebagai pemimpin negara, sangat penting untuk memahami bahwa komunitas Rempang Galang adalah dasar pertahanan negara ini sepanjang waktu. Mereka telah menjadi benteng utama negara ini. Mengabaikan atau menggeser komunitas Rempang akan berarti mengesampingkan bagian inti dari negara ini. Ini adalah titik utama yang perlu dicatat.
Bagi mereka yang memahami masalah teritorial, keberadaan komunitas perbatasan adalah benteng yang hidup. Hakikat kemanusiaan adalah untuk menjaga eksistensinya. Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan perspektif ketahanan nasional ketika membicarakan Batam, karena Batam adalah wajah perbatasan negara kita. Jangan terus memaksa Batam untuk tetap menjadi daerah terbuka. Ingatlah, dalam situasi perang, kita harus berpikir tentang perdamaian, dan dalam situasi damai, kita harus mengingat potensi perang. Saatnya untuk mengubah pola pikir yang terlalu liberal. Menjadi dianggap kuno bukanlah hal yang salah, selama negara tetap bersatu dan utuh. Oleh karena itu, saya melihat keberadaan komunitas Rempang sebagai benteng nasional yang sangat penting. Tolong jangan mengabaikan keberadaan mereka. Saya mendesak pemerintah pusat untuk memperhatikan hal ini. Isu komunitas Rempang bukan hanya tentang penolakan terhadap pembangunan; mereka sedang melestarikan eksistensi peradaban kita. Saya meminta Pangkogab dan komando militer TNI di wilayah Kepri untuk melakukan studi menyeluruh mengenai masalah Rempang.
Sekarang, mari kita bahas masalah lembaga adat Kesultanan Riau-Lingga yang membicarakan tentang tanah ulayat. Siapa mereka? Apakah mereka benar-benar memahami tanah adat? Bagaimana tanah-tanah ini diatur dari masa lalu hingga sekarang? Ketika mengkritik pihak-pihak, terutama pemerintah, tolong sediakan bukti otentik daripada berbicara sembrono. Terutama terkait tanah adat dan ulayat, pastikan pembicaraan didasarkan pada fakta.
Dalam hal ini, saya bukan membela pemerintah, tetapi saya juga ingin memahami mereka yang menggunakan nama adat dan budaya Melayu. Saya ingin memahami tindakan mereka terkait eksistensi adat dan budaya Melayu hingga mereka membicarakan hak atas tanah. Pertama, bangunlah lembaga adat dengan benar, sehingga kita, sebagai orang Melayu Kesultanan Riau-Lingga, memahami tujuan dan fungsinya. Ini tidak boleh hanya menjadi organisasi atau LSM yang diotorisasi oleh pemerintah, tetapi harus mendapatkan pengakuan dari komunitas adat itu sendiri. Siapa yang berada di balik lembaga ini? Jika ini kesultanan, siapakah sultan, dan siapa yang menunjuk mereka dari keturunan? Barulah kita dapat mengklaim mewakili masyarakat adat. Sebagai seseorang yang telah meneliti sejarah Melayu di negeri ini selama lebih dari 20 tahun, saya menemukan bahwa setelah Sultan Abdurrahman Muadzam Shah dijatuhkan oleh Belanda pada tahun 1913, keberadaan kesultanan menjadi absen. Hanya sekitar tahun 2016, melalui pertemuan yang melibatkan lembaga adat Melayu dan tokoh budaya di Kepulauan Riau, lembaga Zuriat Agung didirikan. Mereka menunjuk Tengku Husein ibni Tengku Muhamad Saleh sebagai pemimpinnya, dengan gelar Yang Dipertuan Besar. Selain itu, saya tidak memahami lembaga saat ini yang mengklaim mewakili Kesultanan Riau-Lingga dan anggotanya kini mengangkat isu Rempang.
Terkait budaya dan sejarah, saya mendukung hak komunitas Rempang. Namun, ketika masalah tanah adat atau ulayat dibawa ke meja diskusi, saya percaya kita harus terlebih dahulu mengklarifikasi posisi lembaga adat dan sejauh mana hak-hak ulayat. Jangan hanya mengeluarkan suara keras tentang tanah ulayat hanya karena Anda mewakili lembaga besar. Mengenai legitimasi tanah adat dan bagaimana tanah-tanah ini digunakan dalam praktik adat, pemahaman tampaknya masih kurang. Sekali lagi, kepada mereka yang keras membela hak ulayat, tolong peroleh pemahaman yang komprehensif tentang hak-hak ini. Jangan hanya mengandalkan pencarian online yang sekilas untuk mengklaim keahlian dalam masalah ini. Jangan biarkan kita malu, terutama sebagai individu yang membela adat dan tradisi.
Editor : Ronny
Ikuti berita populer lainnya di Google News SAMUDERAKEPRI
Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp SAMUDERA KEPRI