fbpx
Jumat, Maret 29, 2024
spot_img
BerandaKepulauan RiauPeace Talks Pemerintah Afghanistan -Taliban : Akankah Peperangan Berakhir?

Peace Talks Pemerintah Afghanistan -Taliban : Akankah Peperangan Berakhir?

Peace Talks Pemerintah Afghanistan -Taliban : Akankah Peperangan Berakhir?

Opini, SK.co.id – Mengutip dari Dorronsoro (2005) bahwa konflik yang berkecamuk di Afghanistan merupakan sebuah revolusi yang tidak berakhir.

Hal itu disebabkan sejarah Afghanistan terlibat dalam berbagai konflik sejak tahun 1747 ketika Durrani Empire didirikan oleh Ahmad Shah.

Hingga pada tahun 1973 dunia tidak menyadari bahwa Afghanistan akan memasuki era perang yang tak berkesudahan ketika komunisme mulai memasuki Afghanistan dan menimbulkan pergolakan politik di sana.

Dorronsoro menjelaskan bahwa konflik yang tak berkesudahan ini terjadi sebab generasi Afganistan tidak mengalami apa-apa selain peperangan.

Pemberontakan yang dilakukan atas nama jihad jatuh secara progresif di bawah kendali organisasi perlawanan yang semakin canggih.

Oleh karena itu, Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), menyelenggarakan Diskusi Webinar Series ke 16 dengan tema Peace Talks Pemerintah Afghanistan – Taliban: Akankah Peperangan Berakhir?.

Dalam diskusi kali ini, PSKP menghadirkan narasumber yang berkompeten di bidangnya, yaitu; Yon Machmudi, PhD, pendiri InMind Institute dan Kepala Post Graduate Program of The Middle Eastern and Islamic Studies, School of Strategic and Global Studies Universitas Indonesia dengan topik “Dinamika konflik, kepentingan, Peace Talks dan Dampaknya Terhadap Perdamaian di Afghanistan”, dan Dina Y. Sulaeman, pengamat geopolitik dan Founder Indonesia Center for Middle East Studies.

Diskusi ini juga dihadiri oleh Efriza sebagai pemantik diskusi. Memulai diskusi, Efriza menyampaikan pernyataan, setelah 9/11 dan jatuhnya rezim Taliban, Afghanistan dengan mudah dikacaukan oleh ekstremisme politik, termasuk teror global al-Qaeda.

Perang sipil antara kelompok Taliban dan pemerintah Afghanistan yang didukung oleh Amerika Serikat (AS)tidak hanya berdampak pada tingginya angka kematian akibat konflik bersenjata, tetapi juga berimbas pada disintegrasi nasional.

Konflik yang terus berekskalasi dan sukarnya perdamaian dapat dicapai salah satunya disebabkan oleh ketidakpercayaan kepada pemerintah Afghanistan yang mendapat intervensi dari AS. Akibatnya banyak usaha dialog yang diinisiasi oleh NATO dan AS gagal di tengah jalan.

Namun, titik terang mulai terlihat ketika pada Februari 2020, AS dan Taliban menandatangani sebuah perjanjian untuk mengakhiri peperangan yang telah berlangsung selama 18 tahun.

Perjanjian tersebut di antaranya berisi dalam 135 hari pertama kesepakatan, AS akan mengurangi pasukannya di Afghanistan menjadi 8.600, dengan sekutu juga menarik pasukan mereka secara proporsional. Kesepakatan itu juga memfasilitasi kepentingan pertukaran tahanan.

Sekitar 5.000 tahanan Taliban dan 1.000 tahanan pasukan keamanan Afghanistan dipertukarkan pada 10 Maret. AS juga akan mencabut sanksi terhadap Taliban dan bekerja dengan PBB untuk mencabut sanksi terpisah terhadap kelompok tersebut.
Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Pemerintah Afghanistan dan Taliban pada Sabtu, 12 September 2020, memulai pembicaraan langsung pertama mereka untuk mengakhiri pertempuran selama hampir dua dekade.

Negosiasi ini merupakan sebuah negosiasi yang ditengahi oleh AS sebagai bagian dari rencananya untuk menarik diri dari perang terpanjangnya. Pejabat dari pihak yang bertikai berkumpul di Doha, ibu kota Qatar, untuk melangsungkan pembicaraan.

Banyak pihak menaruh harapan terhadap dialog tersebut untuk mencapai perdamaian dari peperangan di Afghanistan yang sangat melelahkan. Namun, kelompok perempuan dan media memiliki kekhawatiran tersendiri atas dialog tersebut karena berpotensi mengancam kebebasan dan pemenuhan hak manusia.

Dalam diskusi kali ini, narasumber Yon Machmudi, PhD sebagai pembicara pertama menyampaikan materi mengenai sejarah konflik di Afghanistan. Bahwasanya konflik internal di Afghanistan berdasarkan sejarah telah dimulai sejak tahun 1978.

Konflik tersebut terjadi dimulai dengan adanya gerilyawan antikomunis Islam dan pemerintah komunis Afghanistan yang seiring berjalannya waktu pada 1979-1989 dibantu oleh pasukan Uni Soviet. Pada April 1978 dalam konflik tersebut terjadilah penggulingan pemerintahan Presiden Mohammad Daud Khan oleh perwira sayap kiri yang dipimpin Nur Mohammad Taraki.

Kekuasaan akhirnya berpindah tangan, dijalankan oleh dua kelompok politik Marxis-Leninis, Partai Rakyat (Khalq) dan Partai Banner (Parcham), yang awalnya berasal dari satu partai, serta partai Demokratik Rakyat Afghanistan. Maka dari itu, mulai lah pemerintah baru Afghanistan yang menjalin hubungan dekat dengan Uni Soviet dengan melakukan pembersihan secara kejam terhadap semua kelompok oposisi dan mulai melancarkan reformasi tanah serta sosial secara masif berhadapan dengan penduduk Muslim yang sebagian besar anti komunis.

Selanjutnya pemberontakan pun terjadi. Pemberontak tersebut berasal dari berbagai suku yang kemudian membentuk kelompok Mujahidin melawan pemerintah.

Perlawanan dari kelompok mujahidin terus menguat sementara tentara pemerintah tidak mampu membendung pemberontakan setelah terjadi desersi masal.

Maka, konflik intenal dalam pemerintahan antara Partai Rakyat dan Partai Banner tersebut mendorong Uni Soviet untuk menginvasi negara Afghanistan pada bulan Desember 1979 dengan mengirimkan sekitar 30.000 tentara dan menggulingkan pemerintahan yang dipimpin oleh Hafizullah Amin dari Partai Rakyat.

Sekitar 100.000 tentara Uni Soviet pun menguasai kota-kota besar, sementara kelompok Mujahidin berpindah ke daerah perdesaan. Namun, pasukan Uni Soviet mencoba menumpas pemberontakan dengan cara melakukan serangan udara di daerah perdesaan tersebut.

Akibatnya pada tahun 1982 sekitar 2,8 juta penduduk Afghanistan memutuskan untuk mencari suaka ke negara Pakistan, dan 1,5 juta lainnya memilih melarikan diri ke negara Iran.

Namun, kelompok Mujahidin bukannya malah secara politik terpecah dan tidak terkoordinasi selama perang, tetapi menjadi semakin kuat terutama setelah mendapatkan pelatihan dan bantuan persenjataan yang dikirim oleh AS dan negara-negara Arab lainnya melalui Pakistan.

Sejumlah relawan dari berbagai dunia dikenal “Arab-Afghanistan” pun bergabung dengan pemberontak kelompok tersebut. Maka, pada akhir 1980-an Uni Soviet pun mengalami kehancuran, dengan sekitar 15.000 pasukannya tewas dan banyak lainnya terluka. Akhirnya untuk memperkuat perjajian mundur tidak ikut campur dalam urusan negara Afghanistan, pada 1988 AS, Pakistan, Afghanistan, dan Uni Soviet menandatangani perjanjian yang mengharuskan Uni Soviet menarik mundur pasukannya dari negara tersebut.
Namun seiring berjalannya waktu, setelah Uni Soviet tidak memiliki kekuasaan untuk ikut campur ke permasalahan negara Afghanistan, pada 1994 munculah sebuah kelompok Muslim puritan Taliban yang dipimpin oleh mantan komandan kelompok Mujahidin, Mohammad Omar.

Kelompok tersebut secara sistematis menguasai negara, menduduki Kabul pada tahun 1996.

Taliban dibantu oleh peninggalan kelompok Arab-Afghanistan yang telah disebutkan sebelumnya, dengan segera menguasai semua wilayah kecuali sebagian kecil dari Afghanistan Utara, yang dikuasai oleh koalisi longgar pasukan Mujahidin yang dikenal sebagai Aliansi Utara.

Selama mengambil alih kekuasaan, Taliban menolak tuntutan pemerintah AS untuk mengekstradisi Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda, yang memiliki hubungan dekat dengan Taliban dan dituduh telah meluncurkan serangan teroris terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001.

Maka, pasukan operasi khusus AS pun bersekutu dengan pejuang Aliansi Utara, dengan melancarkan serangkaian operasi militer ke Afghanistan dan menggulingkan Taliban dari kekuasaan pada awal Desember 2001.

Dengan adanya hal tersebut Afghanistan segera dipimpin oleh periode pemerintahan transisi berbentuk Republik yang didirikan pada tahun 2004. Pemerintahan transisi tersebut dipimpin oleh Hamid Karzai sebagai kepala negara pertama yang dipilih secara demokratis di Afghanistan pada tahun 2004 dan terpilih kembali pada pemilu tahun 2009.

Dalam proses pemerintahan transisi tersebut, pemerintah harus senantiasa berjuang mengamankan otoritas negara melawan pemberontakan Taliban yang masih eksis. Maka, oleh karena itu pasukan invansi NATO AS menduduki wilayah tersebut hingga saat ini, demi melawan Taliban tersebut dan menanamkan nilai-nilai demokrasi.

Kemudian selanjutnya pembicara kedua yaitu, Dina Y. Sulaeman membahas mengenai Dinamika, Geopolitik, Peace Talks, dan Perdamaian Afghanistan-Taliban 2020. Dilihat dari Geografik, Afghanistan berbatasan dengan Iran, Pakistan, Turmekistan, dan ada juga wilayah yang berdekatan dengan China secara langsung. Negara-negara tersebut tentu saja memberikan dampak terhadap konflik di dalam internal Afghanistan yang telah berlangsung secara lama, apalagi semenjak AS menginvansi negara tersebut. AS di masa Donald Trump memutuskan menandatangani perjanjian damai dengan Taliban, dengan alasan tentara AS sudah banyak membunuh para militan di Afghanistan, maka dari itu saat ini sudah seharusnya pihak lain yang mengambil alih atau pihak Taliban sendiri. Namun, beberapa pengamat lainnya, keputusan tersebut merupakan strateginya sendiri untuk menghadapi pemilu AS mendatang.

Isi perjanjian damai tersebut adalah pertukuran tahanan perintah Afghanistan dan Taliban, Taliban berjanji untuk tidak mendukung Al-Qaeda, dan Taliban bersedia mengikuti dialog intra Afghanistan (Peace Talks). Secara garis besar, isi perjanjian tersebut berkaitan dengan kepentingan AS, rakyat Afghanistan sendiri tidak mendapatkan dampak dari perjanjian ini.

Pernyataan tesebut berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Al-Jazeera News, bahwasanya pada tahun 2019 lalu AS menjatuhkan sekitar 7.432 bom dengan alasan memerangi Taliban, namun malah berujung menimbulkan korban sipil Afghanistan.

Pakistan yang secara geopolitik berdekatan dengan Afghanistan dan memiliki hubungan ekonomi, turut serta terkena dampak permainan proxy war AS tersebut, dimana Pakistan beberapa kali harus diserang bom. Kemudian ada China. China memiliki kepentingan yang besar dengan Afghanistan berkaitan dengan proyek jalur One Belt One Road yang melewati negara tersebut, melawan gerakan East Tuksetan Islamic Movement di Xinjiang dengan melakukan diskusi bersama Taliban dan melaksanakan kontrak ladang minyak, tembaga dengan Afghanistan. Namun, dengan adanya hal ini membuat security dilemma, dimana jika AS benar-benar keluar atau berdamai dengan Taliban di Afghanistan, maka negara China bisa mengambil alih hegemoni. Dan juga ada Iran yang memiliki kepentingan dengan Afghanistan. Negara tersebut ikut serta mengusir tentara AS, melawan drug trafficking, dan kerjasama ekonomi dengan Afghanistan.

Adapun respon yang dapat dilakukan oleh negara-negara penjunjung demokrasi dalam melawan Taliban yang anti demokrasi ini adalah melalui toleransi politik, represi atau pemeberian hukum, inkorporasi, serta memanfaatkan peran perempuan.

Maka, dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan dari diskusi webinar ini adalah peperangan yang terjadi antara Afghanistan dan Taliban ini tidak bisa diselesaikan melalui kedua pihak tersebut saja, masih perlu memanfaatkan pihak lainnya yang lebih efektif baik itu aktor negara maupun non negara yang dapat melakukan kolaborasi secara bersama.

Untuk mencapai rasa perdamaian berkepenjangan sebaiknya negara mau bersifat terbuka dengan memanfaatkan pihak lainnya yang netral, negara tidak bisa serta-merta egois berpihak kepada satu pihak saja. (Asisten Peneliti Departemen Keamanan & Pertahanan PSKP)

RELATED ARTICLES

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

- Advertisment -

Most Popular

Eksplorasi konten lain dari Samudera Kepri

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca