OPINI – Dalam perhelatan pesta demokrasi, selain diperlukan popularitas kandidat, juga amat dibutuhkan elektabilitas, integritas, sinergi tim, dan juga termasuk “isi tas” kandidat. Yang terakhir ini bisa jadi penentu kemenangan. Bukan pada visi misi yang presisi dan prestasi edukasi, melainkan amunisi yang padat berisi. “Wak lanca man lanca”, begitulah jargonnya. Sungguh fenomena ini menggerunkan dan mencemaskan hati kita sebagai pendukung dan pemilik suara, dan selanjutnya jadi penagih janji setelah kandidat terpilih nanti.
Namun, di tengah cadasnya nilai pragmatisme, ada fenomena unik yang terjadi sebagai dan bisa jadi anomali dari potret buram toksid demokrasi sebagaimana diungkapkan di atas. Bahwa masih ada kandidat yang malah kabarnya diperebutkan untuk didukung oleh beberapa parpol pengusung tanpa mahar. Benarkah? Ini tentu jadi semacam kuasa keberkahan di tengah keserakahan & hegemoni patronase politik uang yang praktiknya terlihat kasar & terang benderang. “Blessing in disguise.” Sebut saja Anies Baswedan untuk DKI, Khofifah untuk Jatim, Amsakar Ahmad untuk Batam (bukan SDR Ansar Ahmad), dll. Ini fenomena unik dan menggelitik serta jadi pemantik gerakan politik yang dinamis. Sungguh fakta ini dapat jadi peneduh di tengah panasnya bursa dukungan parpol bagi pencalonan kandidat yang kesemuanya untuk dan demi pengabdian rakyat dan umat. Jadi setetes embun pelepas dahaga rindu akan keteduhan dan kesejukan alam demokrasi rakyat yang berdaulat.
Bagaimana dengan dinamika kontestasi pilkada di kampung halaman kita? Apakah demikian juga atau masih seperti potret buram di awal kisah? Sebagai daerah tertinggal dan hinterland, kita memerlukan figur lokal yang mumpuni dalam banyak hal, di antaranya ilmu, pengalaman, skill, network, lobi tingkat tinggi untuk dapat mengatasi banyak masalah mendasar sebagai amanat konstitusi (kesejahteraan, pendidikan, pemerataan pembangunan, keadilan sosial, dll) dan percepatan mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang. Akankah ada parpol yang berkenan mendukung sepenuh hati secara cuma-cuma? Antara ada dan tiada. “Cayak ndak cayak,” kata Pak Ical, calon bupati Anambas Lawa yang melegenda itu. Bisakah terwujud atau masih jadi “khayalan tingkat tinggi” sekarang “Anambas Bedelau” sebagai lagu Piterpen?
Jika pragmatisme politik masih dominan, maka akan sulit lahir pemimpin rakyat yang bekerja penuh sekuat tenaga dan mampu membawa kemajuan untuk mengejar ihwal ketertinggalan itu. Memang bisa saja terjadi kemungkinan besar kemiskinan bisa menurun. Bukan menurun persentase, melainkan “menurun dari bapak ke anaknya”, seperti yang sedang dan masih terjadi sekarang. Kenapa demikian? Jika kandidat menghabiskan banyak modal uang untuk mendapatkan kekuasaan, itu adalah cenderung korup. “Absolute power tends corrupt.” Paling tidak kecenderungan untuk mempertahankan pengaruh kekuasaan dan kroninya. Faktanya demikian, bukan? Lalu bagaimana dengan nasib rakyat jelata yang selalu diekspos sedemikian rupa ketika kepentingan? Nasib jelata tidak ubahnya mirip dan mungkin sekali seperti yang terjadi sekarang, merana jadi korban janji PHP politik belaka dan dilanda perasaan duka, gundah, gulana karena nasibnya tidak kunjung sejahtera. Apa mau dikata, “tangan mencoblos bahu memikul.” Memikul beban dari ekses politik uang yang tentu akan berpotensi menguntungkan kaum beruang. Apakah fenomena akan terulang? Tentu sebaiknya tidak. Katakan tidak pada politik uang. Bukan tidak menolak, melainkan menolak betul-betul. Betul, tak?
Namun harapan perbaikan, utamanya kesejahteraan rakyat yang demikian menjulang, kerap pupus oleh gerakan para pakang dan petualang politik pragmatis yang praktiknya terus berkembang biak tidak terbilang. “Timses mengalang, kandidat mendulang, pakang kenyang bukan kepalang.” Semoga pilkada kali ini menjadi lebih baik dan pro rakyat. Dan rakyat mau berupaya untuk mencerdaskan diri. Bahkan kalau perlu, “ambil uangnya jangan pilih orangnya!” Ini baru paten. Semoga masih ada.(*/R)
Ikuti berita populer lainnya di Google News SAMUDERAKEPRI
Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp SAMUDERA KEPRI