Anambas, SK.co.id – Salah satu pengguna jasa tol laut, mengungkapkan kekecewaannya terhadap dugaan monopoli yang dilakukan PT Pelni. Menurutnya, Pelni tidak hanya menyediakan layanan transportasi, tetapi juga terlibat langsung dalam aktivitas perdagangan di daerah tujuan tol laut Anambas, Natuna.
“Pelni memanfaatkan fasilitas tol laut, sebagai operator dan penyedia jasa bongkar muat (PBM) yang ditunjuk pemerintah, untuk berdagang. Mereka menggunakan reefer milik Pelni yang berada di pelabuhan tanpa izin pemerintah daerah, sehingga menjadi pesaing langsung bagi pengusaha lokal,” ujarnya, kepada media ini Jumaat, (06/12/2024).
Kondisi ini, lanjutnya, membuat target pasar pengusaha lokal menyusut dan omzet penjualan mereka merosot tajam.
“Dengan adanya Pelni yang berdagang bebas, otomatis peluang usaha kami semakin sempit,” keluhnya.
Ia juga menyoroti kurangnya koordinasi antara Pelni dan pemerintah daerah.
“Seharusnya ada penunjukan langsung dari BUMN ke pemerintah daerah terkait, seperti di Kepulauan Anambas dan Kepulauan Natuna. Dengan begitu, akan ada pengawasan yang lebih ketat dan aspirasi pengusaha lokal bisa tersampaikan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ia mengungkapkan banyak pengusaha lokal yang mengeluh karena keberadaan Pelni namun tidak tahu kepada siapa harus mengadukan permasalahan mereka.
“Tidak ada tindakan nyata dari pemerintah daerah terkait dugaan monopoli ini,” ujarnya.
Selain itu, Ia juga menyoroti masalah perizinan yang baru diselesaikan setelah adanya sidak.
“Perizinan seperti karantina seharusnya sudah diurus sejak awal, bukan setelah ada masalah,” imbuhnya.
Praktik Pelni yang langsung mendistribusikan barang dari pelabuhan, seperti ayam, daging dan makanan beku lainnya, dinilai semakin memperkuat dugaan monopoli.
“Penurunan omzet yang alami mencapai 50-60% merupakan dampak langsung dari praktik monopoli yang dilakukan oleh PT Pelni. Meskipun sudah mengajukan pengaduan, hingga saat ini belum ada tindakan nyata dari pihak berwenang. Perlu diingat bahwa izin penggunaan reefer Pelni di pelabuhan hanya berlaku satu tahun pada tahun 2017 dan tidak diperpanjang. Ini membuktikan bahwa pada tahun 2018, BUMN sebenarnya tidak diizinkan ikut berdagang di tol laut”. Ungkapnya.
“Kami, para pengusaha lokal, menghadapi tantangan yang sangat berat akibat beban biaya tambahan yang harus kami tanggung. Biaya tol laut, booking, stuffing, kegiatan di depo Pelni, izin karantina, dan biaya operasional lainnya membuat harga jual produk kami menjadi tidak kompetitif. Kondisi ini sangat menghambat pertumbuhan usaha kami dan mengancam keberlangsungan perekonomian daerah.”. Ucapnya.
“MTI, sebagai institusi yang ditunjuk oleh BUMN, seharusnya menjadi contoh teladan bagi perusahaan pelayaran lainnya, termasuk Pelni. Dengan kapasitasnya, MTI dapat menunjukkan bagaimana menjalankan bisnis logistik secara efisien dan sesuai dengan peraturan, tanpa perlu terlibat dalam praktik monopoli. MTI telah membuktikan bahwa fokus pada logistik, terutama untuk kebutuhan pokok, sudah cukup untuk menjadi panduan bagi para shipper dalam membedakan antara muatan bersubsidi dan komersial. Sayangnya, Pelni justru melanggar prinsip-prinsip yang seharusnya mereka ikuti.”. Tutupnya.
Upaya untuk mengungkap kebenaran terkait dugaan monopoli di rute tol laut terkendala oleh minimnya respon dari pihak-pihak terkait.
Surat konfirmasi yang dikirimkan ke PT Pelni dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Anambas belum membuahkan hasil, termasuk permintaan data impor barang. (red)
Ikuti berita populer lainnya di Google News SAMUDERAKEPRI
Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp SAMUDERA KEPRI