REMPANG-GALANG Tragedi di Tanah Kemanusiaan

159

Oleh : Nuri Che Shiddiq, SH Sri Seria Diraja Bentan

Opini – Tahun 1975 adalah tahun yang damai bagi dunia, bebas dari suara bom dan senapan mesin. Namun, kemanusiaan banyak orang terkoyak saat ratusan orang mengisi perahu-perahu di Laut Melayu.

Itu adalah bencana bagi Saigon ketika komunis menguasai Vietnam. Mereka yang berdiri sebagai nasionalis harus meninggalkan negara mereka. Di atas perahu kayu yang tak terhitung jumlahnya, ada jenderal, dokter, dan banyak profesi terkemuka lainnya, bahkan menteri. Mereka harus mencari tanah yang bisa memberi mereka rasa kemanusiaan. Negara-negara di sekitar Laut Melayu (Laut Cina Selatan) menutup pintu mereka, dan Indonesia, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, yang pintu gerbangnya membentang dari Samudra Hindia hingga Malaysia dan Filipina, membuka pintunya. Ya, Indonesia, yang juga dikenal sebagai Nusantara, memiliki Pulau Bintan sebagai pintu masuknya di mana mereka pertama kali berlabuh setelah perjalanan mengerikan yang tak pernah lepas dari mata dan telinga mereka.

Di Pulau Bintan, tepatnya di Tanjung Unggat, mereka beristirahat untuk pertama kalinya untuk menunggu tujuan selanjutnya di mana mereka bisa memilih tanah untuk membangun kembali hidup mereka dan menyembuhkan luka mereka.
Ya, Pulau Galang diputuskan menjadi tempat penempatan mereka. Kedatangan mereka di pulau itu menjadi pengingat bagi semua manusia: inilah nasib orang-orang yang diasingkan dari tanah air mereka. Di Pulau Galang, mereka diberi tempat untuk melanjutkan hidup mereka dengan nama KAMP PENAMPUNGAN VIETNAM.

PULAU GALANG adalah tempat di mana kemanusiaan negara dan seluruh rakyat Indonesia diberikan kepada mereka. Selama puluhan tahun, bukan satu atau dua tahun, tapi puluhan tahun, mereka harus beradaptasi dengan bangsa asing dengan bahasa dan cara hidup yang berbeda. Mereka bukan orang-orang yang datang dalam kebebasan atau di bawah penjajahan, tapi orang-orang yang dibuang dari negara mereka. APAKAH KITA PERNAH BERPIKIR tentang bagaimana orang-orang Melayu yang hidup di pulau itu harus hidup berdampingan dengan ribuan orang asing yang datang dengan luka fisik dan mental? Bagaimana? Apakah kita pernah berpikir apakah ada beban yang dirasakan oleh desa yang damai dan tenang tapi menjadi lautan manusia yang kusut dan turun dari perahu-perahu membawa penderitaan panjang hidup mereka?

Perlahan tapi pasti, sejarah mencatat kemanusiaan orang-orang Melayu di Pulau Galang dan sekitarnya, termasuk Rempang. Mereka memberikan ruang yang luas bagi mereka yang melarikan diri untuk hidup damai. Dengan mereka, penduduk asli bersahabat dan damai serta menawarkan rasa damai bagi mereka yang mengungsi.

Itulah nasib orang-orang Melayu di pinggiran KOTA BATAM, yang terkenal tapi tidak seindah kemanusiaan penduduk pulau-pulau. Satu demi satu mereka menghadapi cobaan dari ratusan tahun lalu membantu kerajaan menjadi tanah armada perang Melayu, lalu setelah era kolonial Belanda mereka masuk Indonesia. Tak lama setelah itu, sebelum mereka melihat betapa gemerlap dan hidupnya kehidupan sebagai kota, mereka menerima tamu-tamu yang dalam kesulitan karena negara mereka membuang mereka. Setelah menjadi penyembuh bagi para pengungsi, kini lagi-lagi orang-orang Melayu di pulau itu diguncang ketika mereka diminta meninggalkan desa mereka. Apakah ini balasan dari negara kemanusiaan yang ketika orang-orang Vietnam datang kita beri ruang hidup yang baik? Dan sekarang kita tidak lagi berperang atau diserang oleh komunis, tapi oleh alasan investasi yang menjanjikan masa depan yang cerah tapi malah menghantam orang-orang ramah itu untuk meninggalkan tanah leluhur mereka.

Pikirkan dengan baik. Apa yang mereka rasakan? Apakah jiwa mereka tidak terguncang?.(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini